Mangesthi menanggapi perubahan pasukan lawannya dengan cara berdiri di tengah-tengah. Tegak menantang dan kokoh seolah-olah sedang menjadi pembatas arus yang berlawanan. Sikap tempur Mangesthi sangat mengesankan! Gagah, penuh wibawa dan nyaris mendekati sempurna sebagai seorang panglima yang tidak pernah menyesap ilmu keprajuritan. “Kalian tetap bergerak!” seru Mangesthi berulang-ulang. Ia menghalau pasukannya yang hendak memasuki lubang jebakan gelar Wulan Tumanggal. Di samping itu, Mangesthi cekatan mengatur susunan prajurit. Setelah merasa cukup menata susunan pasukannya, Mangesthi berbalik wajah, kemudian suaranya menantang serta penuh ancaman, “Adakah orang Mataram yang berani mendekati barisanku? Ada? Siapa? Aku tidak mendengar nama yang kalian sebutkan! Agung Sedayu? Adakah orang itu di sini?” Meski tidak terbuka menyampaikan ancaman melalui serangan kata-kata, tetapi sikap tubuh Mangesthi sudah cukup untuk menyatakan itu. Ki Demang Brumbung tidak gegabah menjawab tantangan perempuan muda berparas cantik itu. Melalui gerakan tangan, Ki Demang Brumbung menahan agar pasukannya tidak terpancing oleh Mangesthi. Di dalam pikiran Ki Demang Brumbung muncul pertanyaan mengenai sumber wawasan Mangesthi yang membuatnya begitu tangguh sebagai pemimpin satuan tempur. “Bukan sesuatu yang tabu, tetapi perempuan itu betul-betul tidak kalah dengan kebanyakan senapati Mataram,” desis Ki Demang Brumbung dalam hati. Keadaan sedikit mengendur. Gugus tempur pasukan Ki Sor Dondong yang dipimpin Mangesthi berhasil menghindari jebakan. Di antara waktu yang cukup sempit, Mangesthi memanfaatkan kesempatan itu dengan memerintah agar pasukannya segera berbenah diri lalu mundur teratur. “Aku dipermalukan tapi itu adalah siasat yang sangat cerdas!” Ki Demang Brumbung menahan geram yang berbaur dengan pujian pada tindakan Mangesthi. Tiba-tiba terdengar ledakan yang berasal dari lingkar perkelahian Glagah Putih. Tanah di sekitar mereka terguncang. Pangeran Purbaya melesat dengan kecepatan yang tiada terkira, seolah terbang di atas bahu-bahu para pengawal kademangan yang berada pada jalur tempuhnya. Namun sepasang mata Pangeran Purbaya tidak melihat seorang pun di tempat itu. Tidak ada Glagah Putih maupun Ki Sor Dondong. Sebatang tombak pendek yang patah tampak tergeletak dalam keadaan hangus pada batangnya. Selain itu, bekas benturan kekuatan raksasa juga terlihat pada jejak-jejak kaki yang terpahat dan kulit pohon yang terbakar. Udara terasa lebih panas di bekas tempat yang menjadi medan perkelahian dua petarung pilih tanding tersebut. Mungkinkah Glagah Putih berhasil mencapai puncak ilmu Namaskara lalu melontarkannya dengan sepenuh tenaga? “Glagah Putih benar-benar menemukan lawan tangguh. Sedemikian meratakah para punggawa Raden Atmandaru? Pandan Wangi, Sabungsari dan sekarang, Glagah Putih, bertiga, mereka begitu aku andalkan untuk membendung serbuan lawan di Sangkal Putung. Apakah semuanya akan sirna dan hilang seperti mimpi yang terhempas angin?” Sedikit gelisah merambah hati Pangeran Purbaya. Sangat wajar apabila panglima sandi Mataram terbelit resah dalam perasaannya. Pertempuran di Karang Dawa seakan memberi jawaban mengenai gambaran kecil kekuatan Raden Atmandaru. “Mereka tidak begitu banyak menghimpun orang-orang untuk dijadikan prajurit. Orang ini, Raden Atmandaru, tidak terjebak pada jumlah maupun ketinggian ilmu kanuragan orang per orang. Meski demikian, sejauh yang aku dapatkan dari benturan-benturan yang terjadi, tampaknya kemampuan mereka memang merata,” ucap Pangeran Purbaya pada dirinya sendiri. Agak jauh di bawah kaki Pangeran Purbaya, sekitar tiga puluh atau empat puluh langkah, Glagah Putih tersangkut rimbun semak ketika tubuhnya menggelinding deras sebab benturan yang sulit dihindarinya. Pada waktu itu, Glagah Putih merasakan panas yang luar biasa sedang menyengat tubuhnya. Meski Ki Sor Dondong tidak lagi berada di dekatnya, tetapi akibat pelepasan puncak ilmunya ternyata meninggalkan akibat yang cukup hebat. Dalam keadaan terbaring, Glagah Putih berusaha mengatur pernapasan dengan cara yang sangat halus seperti yang yang pernah diajarkan oleh Agung Sedayu padanya. Peluh membasahi kain yang menutupi tubuhnya. Ikat pinggang Glagah Putih tampak hangus sebagian. Glagah Putih memang tidak terluka parah, tetapi ia membutuhkan waktu untuk memulihkan daya tahan. Dari jarak yang sebenarnya cukup jauh, pendengaran tajam Pangeran Purbaya dapat mendengar erangan orang yang sedang bernapas berat. Namun ketika Pangeran Purbaya mulai memusatkan perhatian, desah napas itu berangsur-angsur menjadi lembut dan teratur. Setelah mendapatkan perkiraan asal desahan napas, Pangeran Purbaya menjejakkan kaki, mengitari lingkungan, menjaga jarak aman dari serangan rahasia yang mungkin sedang disiapkan lawan Glagah Putih. Patutlah dia menjadi waspada karena keadaan Glagah Putih masih samar baginya. Ilmu meringankan tubuh Pangeran Purbaya memang seperti kekuatan ajaib yang hanya dapat diserap oleh keturunan Panembahan Senapati. Bagaimana tidak? Saudara Panembahan Hanykrawati itu seolah-olah lebih ringan dari serangga terbang yang hinggap di ujung daun! Tidak ada sehelai daun pun yang terayun kuat meski sedang menerima bobot tubuh yang sudah pasti lebih berat dari roda pedati. Maka, dalam waktu singkat, Pangeran Purbaya telah menjangkau tempat Glagah Putih tergolek lemah sebelum memastikan semuanya dalam keadaan aman dan terkendali. Untuk sejenak waktu, Pangeran Purbaya memeriksa keadaan Glagah Putih. Ia bernapas lega karena tidak mendapati luka-luka yang membutuhkan perhatian sungguh-sungguh. Bukan guncangan yang cukup berarti dan mengancam keselamatannya, tapi ia butuh waktu untuk memulihkan tubuhnya agar menjadi lebih bugar, pikir Pangeran Purbaya. “Maafkan saya, Pangeran,” kata Glagah Putih lemah ketika membuka mata lalu melihat Pangeran Purbaya duduk bertumpu tumit di dekatnya. “Ini bukan keadaan yang perlu dimaafkan karena memang tidak ada yang bersalah dalam pertempuran ini,” sahut Pangeran Purbaya dengan nada mentereng. “Mengapa demikian?” “Ini adalah medan perang, Ngger. Jika bukan kemenangan, maka kekalahan atau kedudukan imbang sajalah yang menjadi hasil akhir. Kita tidak dapat mengingkari itu.” “Tapi saya bersedia dihukum karena gagal menahan panglima mereka.” “Permintaanmu lebih terdengar sebagai tangisan sedih seorang lelaki cengeng yang takut menghadapi kenyataan. Bangkitlah segera! Ini adalah perintahku sebagai panglima!” Simak dari awal Kitab Kiai Gringsing Bab 1 – Agung Sedayu Terperdaya Bab 2 – Jati Anom Obong Bab 3 – Membidik Bab 4 – Kiai Plered Bab 5 – Merebut MataramTRIBUNPONTIANAKCO.ID, KAPUAS HULU - Berdasarkan data sementara dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kapuas Hulu, ada enam (6) kecamatan sudah terendam banjir di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Kamis 15 Juli 2021.. Enam kecamatan tersebut yaitu, Kecamatan Silat Hulu, Hulu Gurung, Pengkadan, Boyan Tanjung, Bunut Hulu, dan Kecamatan Kalis. Barang siapa yang tak kenal dengan cerita bersambung karya SH. Mintardja yang berjudul Api Di Bukit Menoreh ADBM boleh lah dibilang anak kemarin sore. Cerita silat Jawa berlatar sejarah jaman awal terbentuknya Kerajaan Mataram Islam itu mencetak rekor sebagai cerita bersambung terpanjang sepanjang sejarah, setidaknya sejarah persilatan Jawa. Bagaimana tidak, cerita yang dimuat secara bersambung di harian Kedaulatan Rakyat dan setiap bulan dibukukan itu terbit hingga jilid ke-396 dalam rentang waktu sangat panjang, 32 tahun. Jilid 1 Api Di Bukit Menoreh terbit pada tahun 1968 dan terus berlanjut sampai terpaksa berhenti karena SH Mintardja menutup mata pada 18 Januari 1999 dalam usia 65 tahun. Awal membaca ADBM adalah dengan menyewa bukunya di kios pinggir jalan di Kota Purwokerto. Di sana pula buku silat Asmarawan S Kho Ping Hoo dan berbagai cerita komik saya lahap. Namun karena mendiang bulik Wardjo yang tinggal di gang Kranji selalu membeli ADBM terbaru, maka akhirnya saya rajin ke rumah bulik, hanya untuk pinjam buku. Akibatnya saya diledek bulik setiap datang. Cerita ADBM memang sangat memikat dan merangsang imajinasi. Bagaimana seorang Agung Sedayu yang sangat penakut namun memiliki kemampuan bidik luar biasa berhasil melewati masa-masa sulit, menjadi murid orang bercambuk misterius yang sakti bernama Kiai Gringsing, dan kemudian menjelma menjadi pemuda tangguh, namun tetap dihantui sifatnya yang ragu-ragu. Hubungan Agung Sedayu dengan Senapati Pajang Untara kakangnya, Swandaru Geni adik seperguruan yang gemuk dan bersumbu pendek, Sekar Mirah adik Swandaru yang perajuk, Sidanti pemuda ambisius culas murid Ki Tambak Wedi menjadi pusat cerita pada jilid-jilid awal. Peperangan dengan sisa-sisa laskar Jipang, setelah tewasnya Arya Penangsang, yang dipimpin Tohpati atau Macan Kepatihan menjadi bagian ketegangan cerita. Api perselisihan merambah ke Menoreh setelah hancurnya Tohpati, menyerahnya Sumangkar adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang bersenjatakan tongkat tengkorak baja putih, dan menyingkirnya Ki Tambak Wedi dan Sidanti ke tanah perdikan itu setelah markasnya dihancurkan pasukan Pajang yang dipimpin Senapati Untara dan didukung Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru. Di tengah membaranya api pertentangan di Menoreh yang dibakar Sidanti, Ki Tambak Wedi dan Argajaya tokoh ambisius adik Argapati atau Ki Gede Menoreh, gadis cantik halus bernama Pandan Wangi adik tiri Sidanti, puteri Ki Gede Menoreh bertemu Gupita Agung Sedayu yang ditaksirnya namun justru ia harus menerima cinta Gupala Swandaru Geni. Ketika api di Tanah Perdikan Menoreh padam dengan tewasnya Sidanti dan Ki Tambak Wedi yang ternyata ayah Sidanti, serta tobatnya Ki Argajaya, cerita kemudian bergeser dengan pergulatan menyusul dibukanya alas Mentaok oleh Sutawaijaya dan Ki Gede Pemanahan yang menjadi awal berdirinya Mataram. Pertentangan antara Mataram dan Pajang membakar Menoreh lagi. Ada masa dimana saya bosan dan terputus membaca kisah ADBM, oleh karena terlalu banyak dan panjangnya kisah kembangan tak penting yang disisipkan ke dalam cerita utama. Hal itu memberi kesan ADBM manjadi amat bertele-tele, tidak sebagaimana karya legendaris SH Mintardja sebelumnya yaitu Nagasasra dan Sabuk Inten yang tamat pada jilid ke-29. Bagian yang menarik di ADBM adalah saat terurainya misteri sosok Kiai Gringsing, pesatnya perkembangan ilmu Agung Sedayu yang begitu luar biasa setelah menekuni ilmu dari buku peninggalan perguruan Windujati, salah pahamnya Swandaru terhadap tingginya ilmu saudara seperguruannya itu, dan cinta terpendam Pandan Wangi terhadap Agung Sedayu. Beberapa tahun kemudian baru saya ketahui bahwa setidaknya ada dua penulis yang melanjutkan kisah legendaris ini. Yang pertama adalah ADBM lanjutan karya Flam Zahra yang berani dan imajinatif, hanya sayang berhenti pada jilid 403. Karya ini patut diapresiasi dan akan sangat menarik jika saja diteruskan, meski ada sejumlah bagian yg perlu diperbaiki untuk konsistensi cerita. Kelanjutan ADBM yang satu lagi ditulis oleh seseorang yang menamakan diri Panembahan Mandaraka mBah Man dari Padepokan Sekar Keluwih, dimulai dari ADBM Jilid ke-397 hingga tamat pada jilid 416 dengan meninggalnya Swandaru setelah membisikkan pesan misterius kepada Ki Rangga Agung Sedayu RAS yang diduga agar RAS mengawini Pandan Wangi. Selanjutnya ADBM diteruskan mBah Man dengan membuat judul baru Sejengkal Tanah Setetes Darah. Meskipun mencoba menyesuikan dengan gaya tulis SH Mintardja, tanpa terlalu bertele-tele dalam bercerita, mBah Man bisa dibilang lebih "berani" dalam memainkan karakter utama dan masuk lebih dalam ke bagian sensitif dan pribadi, meski tak seberani, seliar dan seterbuka buku Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Namun sayang sekali, terakhir kali saya membaca tulisan mbah Man, ia sudah mengikuti jejak pengarang aslinya, yaitu ceritanya mulai terlalu betele-tele dengan menulis yang remeh temeh, dan melenceng jauh dari alur utamanya. Bagaimana pun di tengah keringnya cerita silat berlatar sejarah, upaya mbah Man untuk menghidupkan ADBM sangat layak untuk diapresiasi., seorang pejalan musiman dan penyuka sejarah. Penduduk Jakarta yang sedang tinggal di Cikarang Utara. Traktir BA secangkir kopi. Secangkir saja ya! Oktober 28, 2017. Inilahyang memotivasi Mintradja untuk menulis cerita silat dengan latar sejarah Jawa. Berikut Ini Adalah Daftar Cerita Silat Indonesia Karya S.H. Mintardja yang dapat kalian baca disini: Serial Api Di Bukit Menoreh. Api Di Bukit Menoreh Buku 001-100; Api Di Bukit Menoreh Buku 101-200;
CeritaSilat Jawa " BENDE Mataram ", SEMARANG. 778 likes. Cerita silat favorit taun 1965 an
dzUG. 211 376 409 238 459 259 256 122 360